Widget edited by super-bee

Minggu, 09 Desember 2012

Farmakologi - Epilepsi (Kejang)




1.Definisi
Epilepsi adalah Gangguan SSP yang ditandai dengan terjadinya bangkitan (seizure, fit attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan terjadi berulang (kambuhan). Dalam literatur lain definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.

2.Faktor
Kejang disebabkan oleh banyak faktor, faktor tersebut meliputi penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat) (2). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang (3).

3.Klasifikasi
Kejang diklasifikasikan menjadi dua kategori umum yaitu : (a) kejang parsial (kejang parsial dapat disebabkan oleh suatu lesi pada beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi perkembangan atau stroke) dan (b) kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik).
1. Kejang parsial (awal terjadi kejang secara lokal)
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
(1) Disertai gejala motor
(2) Disertai gejala sensori khusus atau somatosensori
(3) Disertai gejala kejiwaan
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
(1) Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.
(2) Diawali gangguan kesadaran, diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa gerakan otomatis.

4.Patofisiologi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori). Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu, glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin, peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat neuron) yaitu, dopamin dan GammaAmino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron (8).
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+.  Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid)dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-aspartat).Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi.  Namun felbamat (antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas sel-sel syaraf yang teraktivasi (9). Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.

5.Gajala Klinis
(1)   Gajala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.
(2)   Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.
(3)   Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
(4)   Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.
(5)   Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan kesadaran.

6.Obat-obat Antiepilepsi
Menurut jenisnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

















(1) Karbamazepin
a. Digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik.
b. Mekanisme aksi : Menurunkan respon post sinaptik, hambat konduktansi Na, sehingga hambat depolarisasi berulang pada fokus epilepsi.
c. Metabolismenya dihambat o/ simetidin, diltiazem, isoniazid. Absorbsi po lambat
d. Dosis pada anak  dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada  anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari.
e. Efek samping : Anemia aplastik, agranulositosis, trombositopeni, toksisitas hati.

(2) Fenitoin
a. Merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf.
b. Mekanisme aksi : menghambat kanal sodium (Na+)  yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron.
c. Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6  jam. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk.
d. Farmakokinetika : Absorbsi po lambat, Distribusi cepat, Terikat protein plasma, T1/2 24 jam, Dimetabolisme di hati, diekskresikan < 5% dlm btk tdk berubah lwt urin.
e. Efek samping : Hiperplasia gingivitis, Gambaran wajah mjd kasar, Kebingungan, halusinansi, mengantuk, ataksia, Teratogenik → fetal hydantoin syndrome.
f. Interaksi obat :Inhibisi metabolisme oleh kloramfenikol, simetidin, sulfonamid, isoniazid, dll. Induksi metabolisme terhadap antiepilepsi lain, atnikoagulan, kontrasepsi oral, dll

(3) Fenobarbital
a. Efektif utk serangan parsial sederhana, grand mal, kejang demam
b. Mekanisme aksi : membatasi penyebaran kejang dg meningkatkan ambang serangan epilepsi, potensiasi GABA.
c. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari.
d. Farmakokinetika : Absorbsi po baik, Induser enzim pemetabolisme, Sekitar 75% tdk diaktifkan o/ sistem mikrosomal, Diekskresikan dlm btk tdk berubah
e. ESO: sedasi, ataksia, agitasi, rebound
(4) Asam valproat
a. Merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik.
b. Mekanisme aksi : memperkuat kerja GABA, sehingga mengaktivasi dekarboksilasi glutamat & inhibisi GABA-T.
c. Efektif utk mioklonik, alternatif utk grand mal & petit mal.
d. Farmakokinetika : Absorbsi po baik, Terikat protein plasma, Sebagian besar diubah mjd metabolit aktif o/ hati, Hambat metabolisme barbiturat.
e. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat.  Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

(5) Primidon
a. Untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik.
b. Mekanisme aksi : Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital danfeniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal.
c. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari.
d. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi.

(6) Etosuksimid
a. Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens.
b. Mekanisme aksi :  menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
c. Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari.
d. ESO : mual dan muntah, efek samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar